Cerita tentang Ular
Sinar merah dari penjuru timur telah tampak. Kokok ayam bapak
semakin kencang, tanda habisnya waktu Subuh. Bergegas aku ambil garu, bergegas
pula bapak mengeluarkan sepeda dari rumah kami yangb sederhana. Membonceng
merupakan salah satu kegemaranku ketika pergi ke sawah. Bapak bilang
semangatnya bertambah dengan kehadiranku di belakangnya.
Sampai di sawah, kami bagi tugas, aku menggaru sebelah utara, bapak
sebelah selatan. Sawah yang tak begitu besar menjadi tumpuan hidup kami. Cukup lama
aku menggaru, bagianku sudah hamper selesai. Kuinjakkan kakiku perlahan ke
dalam lumpur dengan penuh semangat. Tiba-tiba, kaki kiriku terasa geli, mungkin
ada cacing yang bermain di sela-sela jariku. Segera kuangkat kakiku kiri,
ternyata seekor ular sedang menggigitnya sampai bisa kulihat gigi ular itu. Segera
aku berteriak, “Bapak, kegigit ular!!!!!” Aku susul dengan berlari ke jalan dengan
rasa takut yang bergejolak. Sempat terpikir bahwa ini akhir hidupku. Mendengar teriakkanku,
bapak segera menyobek kain dan mengikatkannya di kakiku. Ular yang menggigitku
sebenarnya kecil, pendek, dan tidak berbisa, tapi tetap saja aku takut.
Bapak mengambil alih bagianku, kami bergegas pulang. Sampai di
rumah, aku ceritakan kejadian itu. Betapa malunya aku, ibu dan adik malah
menertawakanku. Sambil mendengar tawa meraka, aku teringat mipiku pada suatu
malam. Dalam mimpi itu, aku masuk ke kamar mandi. Tiba-tiba terdengar suara
ualr dari belakang, ular itu melarangku bergerak. Aku hanya bisa berdiam diri
karena takut dipatok. Akhirnya ular itu mematok leherku dan aku terbangun dari
mimpi itu.
Rasa malu, takut karena gigitan ular menjdikan aku takut pergi ke
sawah sampai bertahun-tahun. Suatu hari,
ketika matahari di atas ubun-ubun, aku menjawab panggilan adzan. Aku bergegas
menuju masjid. Perlahan aku berjalan mengambil sandal, tiba-tiba seekor ular
kembali mematok kaki kiriku. Kali ini ukurannya lebih besar, bergaris coklat
hitam. Aku kaget dan berlari menjauh, begitu juga ular itu pergi. Aku tak
menjerit karena tak ada lagi rasa takut, “Paling tak berbisa.” Aku merasa ada
yang aneh di tengah sholatku. Pandanganku berkurang, tetangga yang melihatku
mengira aku baru bangun tidur, padahal tidak. Aku lihar lagi bekas gigitan ular
tadi, ternyata darah masih mengalir. Aku menceritakan kejadian tadi pada bapak.
Beliau segera melihat kakiku, “Wahh, ini gigitan ular macan, berbisa,” katanya.
Rasa takutku muncul, badanku gemetar, memanas. Keringat menetes dengan cepat.
Bapak mengajakku ke suatu tempat yang kabarnya bisa mengeluarkan
bisa ular. Sampai di tempat itu, kami bertemu dengan orang tua yang membawa
keris. Orang tua ini menempelkan keris ke kakiku dengan sebelumnya diolesi
minyak yang aneh. Keluarlah air yang katanya itu bisa ular yang menggigitku
tadi. Bukan bisa ular, yang mematikanku jika tak diambil, yang aku takutkan. Melainkan,
menggadaikan kepercayaanku kepada Pencipta itu lebih aku takutkan. Kami kembali
ke rumah dengan sakit baru, rasa bersalah yang kupendam. Sempat terpikir, “Aku
rela mati karena bisa ular, tapi tetap memegang teguh kepercayaanku, daripada
hidup memendam rasa bersalah.”
Sesak dalam dada tak bisa kupendam. Aku tanyakan tentang
keterpaksaan dalam kejadian seperti itu kepada guruku. Jawaban beliau
menenteramkan hatiku kembali, “Semoga Yang Maha Pengampun mengampuni
keterpaksaan. Jangan berputus asa.”