Rabu, 08 Februari 2012


Cerita tentang Ular
Sinar merah dari penjuru timur telah tampak. Kokok ayam bapak semakin kencang, tanda habisnya waktu Subuh. Bergegas aku ambil garu, bergegas pula bapak mengeluarkan sepeda dari rumah kami yangb sederhana. Membonceng merupakan salah satu kegemaranku ketika pergi ke sawah. Bapak bilang semangatnya bertambah dengan kehadiranku di belakangnya.
Sampai di sawah, kami bagi tugas, aku menggaru sebelah utara, bapak sebelah selatan. Sawah yang tak begitu besar menjadi tumpuan hidup kami. Cukup lama aku menggaru, bagianku sudah hamper selesai. Kuinjakkan kakiku perlahan ke dalam lumpur dengan penuh semangat. Tiba-tiba, kaki kiriku terasa geli, mungkin ada cacing yang bermain di sela-sela jariku. Segera kuangkat kakiku kiri, ternyata seekor ular sedang menggigitnya sampai bisa kulihat gigi ular itu. Segera aku berteriak, “Bapak, kegigit ular!!!!!” Aku susul dengan berlari ke jalan dengan rasa takut yang bergejolak. Sempat terpikir bahwa ini akhir hidupku. Mendengar teriakkanku, bapak segera menyobek kain dan mengikatkannya di kakiku. Ular yang menggigitku sebenarnya kecil, pendek, dan tidak berbisa, tapi tetap saja aku takut.
Bapak mengambil alih bagianku, kami bergegas pulang. Sampai di rumah, aku ceritakan kejadian itu. Betapa malunya aku, ibu dan adik malah menertawakanku. Sambil mendengar tawa meraka, aku teringat mipiku pada suatu malam. Dalam mimpi itu, aku masuk ke kamar mandi. Tiba-tiba terdengar suara ualr dari belakang, ular itu melarangku bergerak. Aku hanya bisa berdiam diri karena takut dipatok. Akhirnya ular itu mematok leherku dan aku terbangun dari mimpi itu.
Rasa malu, takut karena gigitan ular menjdikan aku takut pergi ke sawah sampai bertahun-tahun.  Suatu hari, ketika matahari di atas ubun-ubun, aku menjawab panggilan adzan. Aku bergegas menuju masjid. Perlahan aku berjalan mengambil sandal, tiba-tiba seekor ular kembali mematok kaki kiriku. Kali ini ukurannya lebih besar, bergaris coklat hitam. Aku kaget dan berlari menjauh, begitu juga ular itu pergi. Aku tak menjerit karena tak ada lagi rasa takut, “Paling tak berbisa.” Aku merasa ada yang aneh di tengah sholatku. Pandanganku berkurang, tetangga yang melihatku mengira aku baru bangun tidur, padahal tidak. Aku lihar lagi bekas gigitan ular tadi, ternyata darah masih mengalir. Aku menceritakan kejadian tadi pada bapak. Beliau segera melihat kakiku, “Wahh, ini gigitan ular macan, berbisa,” katanya. Rasa takutku muncul, badanku gemetar, memanas. Keringat menetes dengan cepat.
Bapak mengajakku ke suatu tempat yang kabarnya bisa mengeluarkan bisa ular. Sampai di tempat itu, kami bertemu dengan orang tua yang membawa keris. Orang tua ini menempelkan keris ke kakiku dengan sebelumnya diolesi minyak yang aneh. Keluarlah air yang katanya itu bisa ular yang menggigitku tadi. Bukan bisa ular, yang mematikanku jika tak diambil, yang aku takutkan. Melainkan, menggadaikan kepercayaanku kepada Pencipta itu lebih aku takutkan. Kami kembali ke rumah dengan sakit baru, rasa bersalah yang kupendam. Sempat terpikir, “Aku rela mati karena bisa ular, tapi tetap memegang teguh kepercayaanku, daripada hidup memendam rasa bersalah.”
Sesak dalam dada tak bisa kupendam. Aku tanyakan tentang keterpaksaan dalam kejadian seperti itu kepada guruku. Jawaban beliau menenteramkan hatiku kembali, “Semoga Yang Maha Pengampun mengampuni keterpaksaan. Jangan berputus asa.”